Pemilih Hati
Cerpen Karangan: Penulisrasa
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 18 April 2019
Semua orang lihai dalam masalah cinta. Namun, tidak bagi pemuda yang sedang terduduk melamun di atas balkon itu.
Matanya yang hitam pekat memandangi pemandangan di depannya. Seulas senyum ia tampakkan saat dirinya mengingat sesuatu. Kemudian, kembali senyum itu hilang dari wajahnya. Bergantikan mimik wajah datar.
Terpaan angin berhembus memainkan rambutnya yang berjambul. Tangan kanannya yang memegang sesuatu, memainkan benda tersebut.
“Kamu sangat pandai dalam hal itu.” senyumnya kecut. “Aku yang bahkan lelaki ini, telah kalah olehmu. Jatuh terlalu dalam, sampai untuk kembali pun tak mampu.”
“Raihannn..” panggil seseorang dari arah belakang. Sementara orang yang dipanggil, hanya diam tak menengok ataupun membalas. Tatapan matanya terlalu fokus pada setumpuk buku yang sedang dibacanya tersebut.
“Tega sekali kau mendiamkanku.” gerutu sang pemanggil. Lagi, Raihan tak menanggapinya.
“Heiihoooo, lihat aku! Bagaimana dengan penampilanku hari ini?”
“Apa aku terlihat cantik?”
“Oh, iya. Aku hari ini ada kencan dengan seorang pemuda. Ayo katakan padaku, apa aku cantik hari ini?”
“Jangan diamkan aku, Raihan. Kau ini kenapa tak pernah menjawab pertanyaanku, sih?” kali ini, Raihan menoleh. Memperhatikan perempuan yang sedari tadi mengoceh tanpa henti di depannya. Ia memperhatikan perempuan itu dari atas sampai bawah.
Sementara yang diperhatikan, berkacak pinggang sambil sesekali berputar-putar, lalu tersenyum senang.
“Bagaimana?” tanya perempuan itu lagi.
“Cantik.” jawab Raihan.
“Hehe, Makasih.” Perempuan itu mengecup sekilas pipi Raihan. Membuat lelaki itu sontak terkejut. “Hari mulai sore, aku pulang dulu. Aku menyayangimu, temanku.”
Perempuan itu pamit meninggalkan Raihan dalam keterdiamannya. Matanya masih dengan setia melihat punggung perempuan tersebut yang semakin menjauh. Menghilang tertelan jarak.
“Untuk hal seperti ini saja aku tak mampu. Tapi kau? Kau sangat mudah melakukannya.”
Haripun berganti minggu.
Setiap hari Minggu, Raihan selalu menyempatkan diri untuk sekedar berjalan berkeliling komplek ataupun pergi ke toko buku, hanya untuk mengisi waktu kosong yang terbuang sia-sia.
Seperti saat ini, sore yang indah dengan langit senja, Raihan sedang berkeliling menikmati udara sore hari. Matanya yang hitam menatap setiap jalanan.
Tatapannya berhenti pada dua orang yang saling terduduk bersampingan di pinggir jalan. Terlihat wajah senang dari keduanya. Si lelaki menggelitiki perut sang perempuan. Sementara, si perempuan tergelak tawa akibat dari ulah sang lelaki.
“Pemandangan yang mengerikan.” keluh Raihan di hati.
Saat hendak memutar balik, langkahnya terhenti ketika namanya dipanggil.
“Raihannn, Sini!” lambaian perempuan itu, memberi isyarat untuknya mendekat.
Dengan berat, langkahnya mendekati dua orang yang tadi dilihatnya.
“Haii, Rena.” senyumnya kaku.
“Wah, kebetulan sekali, yah. Nih, kenalin pacar aku, Alex.” tunjuknya pada lelaki yang dipanggil Alex itu.
Tangan Raihan terulur, hendak menjabat tangan Alex. “Raihan.” kenalnya.
Alex tak menanggapi uluran tangan Raihan. Ia menatap sinis. “Alex.” jawabnya.
Seolah mengerti akan keadaan, Raihan memilih melanjutkan kembali jalan-jalan sorenya yang sempat terhenti.
“Okey, aku pamit yah. Kurasa sore ini akan mendung. Aku harus cepat kembali.” pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban dari dua orang di depannya, ia langsung melenggang pergi begitu saja. Menjauh dari tempat yang telah membuat hatinya merasa sakit.
Setelah beberapa jauh dari tempat tadi, Raihan menghentikan langkahnya. Melihat sekitar dengan banyaknya orang berlalu-lalang melakukan aktivitas yang sama.
Raihan melangkah menuju sebuah kursi, tak jauh dari dirinya berdiri. Duduk di kursi itu sambil menyandarkan punggungnya.
Memejamkan mata, merasakan semilir angin yang menembus setiap kulit wajahnya.
—
Sebuah pemandangan yang tak seharusnya dilihat. Sebuah kejadian yang tak patut ditiru.
Lelaki kecil berparas tampan itu, terisak menangis dari keterdudukannya. Kedua tangan mungilnya mengusap setiap bulir air yang terus meluncur membasahi pipinya.
“Hentikan…” teriaknya pilu.
Pemandangan di hadapannya, Orang yang paling dicintainya, panutan hidupnya, tempatnya untuk pulang, sedang beradu mulut dengan lihainya.
Seolah tak mendengarkan anak kecil itu berteriak menghentikan, kedua orang dewasa itu terus saja menampilkan setiap adegan demi adegan yang tak seharusnya anak kecil itu lihat.
“Jangan! Papah jangan pukul Mamah!” halangnya. Saat matanya yang hitam menatap lelaki dewasa dihadapannya telah mengangkat tangan hendak melayangkan pukulan.
“Anak kecil tahu apa, hah? Minggir!” nyalang lelaki yang dipanggilnya Papah.
“Dia nggak tahu apa-apa. Jangan bentak dia seperti itu.” balas perempuan yang kini sedang mendekap anak kecil itu.
Setengah jam sebelumnya, ia termangu. Matanya yang indah melebar tak percaya, hatinya terkejut kuat, air matanya meluncur tiada henti.
Kala dirinya yang sedang berjalan-jalan sore, melihat pemandangan yang mampu membuat hati Ibunya, yang sedang mengandeng tangannya, terluka. Dimana lelaki yang paling ia dambakan kedatangannya, sedang berpelukan mesra dengan wanita lain, bukan Ibunya.
Jerit lengkingan sang Ibu seolah menjadi sorak-sorai pertanda perang, yang makin membuat air matanya mengalir. Ia tak ingin mau, tak ingin tahu, rasanya dikhianati ataupun disakiti.
—
Mataku terbuka saat seseorang memanggilku dari samping. Hari semakin gelap. Dan aku masih terduduk di kursi ini.
“Sedang apa di sini? Yang lain sudah pulang.” ucap lelaki yang sedang terduduk di sampingku.
Aku menoleh. “Tak ada.” jawabku, tersenyum ramah.
“Bapak sendiri kenapa ada di sini? Hari mulai gelap.” tanyaku.
Matanya menatap langit senja yang mulai menghitam, bergantikan malam. Senyumnya mengembang menghias wajahnya yang terlihat lelah.
Aku tebak, bapak ini seumuran dengan Papah, pikirku.
“Apa yang sedang kau rasakan?” tanyanya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan. Tanpa menjawab pertanyaanku.
“Ketenangan.”
“Dari apa?”
“Dari semua hal yang menyakitkan. Kupikir, hidup ini terlalu keras. Jadi, aku ingin ketenangan.”
“Kau sangat menginginkannya?”
“Ya.”
“Maka, mencintailah.”
Aku termangu. Tak mengerti akan ucapan Bapak di sampingku ini. Maksudnya mencintai adalah memberikan hatimu pada orang lain dan mempercayakan keyakinanmu padanya. Tapi, aku tak bisa.
Hal tersebut terlalu tabu. Aku sangat tak bisa melakukannya.
“Jangan takut.” seolah tahu dengan apa yang aku pikirkan. “Mencintai tak seburuk kelihatannya. Yang terburuk hanyalah tak mampu membuka diri pada dunia. Kau seorang yang pemilih.” katanya membuatku bingung.
“Pemilih?”
“Iya. Kau seorang pemilih.” kini pandangan matanya melihat ke arahku. Tangannya menepuk pundakku. “Dengarkan aku. Jadi pemilih tak seindah kedengarannya. Kau menjadi pemilih karena masa lalu. Lalu, bagaimana dengan masa depanmu?”
Aku terdiam.
“Pemilih hati tak pantas mendapat cinta. Karena itu, mereka orang-orang pemilih selalu berakhir menyedihkan.” senyumnya getir. “Contohnya aku. Aku terlalu menutup diri pada dunia. Membuatku lupa tentang orang yang selama ini selalu ada di dekatku. Dan akhirnya, ia pun pergi bersama yang lain.
Jadi, aku tegaskan padamu. Jadi pemilih hati bukanlah yang terbaik namun juga tak salah. Hanya saja, menjadi pemilih hati karena takut sakit atau dikhianati, bukanlah hal benar. Yakinkan saja dirimu, bahwa perempuan yang kau sukai juga menyukai dirimu.”
“Tapi–”
“Tak ada tapi sebelum kau mencoba. Maka, lakukanlah wahai pemuda.”
Pikiranku melayang pada saat-saat kejadian itu. Kupikir, mungkin karena itu juga aku menjadi seperti ini. Melihat orangtuaku yang bertengkar lalu, bercerai, membuatku jadi seperti ini.
“Terima kasih.” ucapku, pada Bapak yang terduduk di sampingku. Namun, sosoknya sudah menghilang begitu saja.
“Kemana dia pergi?” tanyaku bingung. Pandanganku melirik sekitar berharap Bapak itu masih ada. Namun, bayangannya pun tak terlihat. Dia hilang begitu saja.
Tanpa pikir pusing, aku beranjak dari dudukku. Melangkah pergi menuju rumah karena hari semakin gelap.
“Pemilih, yah?” gumamku.
Tanpa sadar aku menjadi seorang yang pemilih. Bahkan, dengan cintaku sendiri. Hanya takut berakhir sama seperti kedua orangtuaku, aku menjadi pemilih.
yang tanpa sadar, menjadi Pemilih hati yang sangat ulung.
Bandung 2017
Cerpen Karangan: Penulisrasa
Blog / Facebook: Yanti Alpianti
Seorang gadis beranjak dewasa yang sedang menekuni hobinya menulis. Sangat berharap bisa menjadi penulis novel terkenal layaknya ‘Tere Liye’.
Cerpen Pemilih Hati merupakan cerita pendek karangan Penulisrasa, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
0 Komentar